KODE IKLAN DFP 1 Contoh Cerpen Dewasa Dikala Sosok Itu Datang | kumpulan ilmu dan pengetahuan penting

Contoh Cerpen Dewasa Dikala Sosok Itu Datang

KODE IKLAN 200x200
KODE IKLAN 336x280
Contoh Cerpen Remaja

KETIKA SOSOK ITU DATANG
Oleh Mike Azminatul Khayatika


Suasana malam yang sunyi dan dingin. Bintang-bintang bertaburan, bulan tampak berseri memancarkan sinarnya. Menggoda setiap mata memandang. Sedikit luka telah sirna oleh situasi alam yang menenangkan jiwa.

Langkah demi langkah kian niscaya melangkah maju hingga di halaman depan rumah. Sekejap bayangan itu telah tiada. Sekilas wujudnya tampak orisinil di penglihatan, namun kurang jelas bayangan itu kabur.
“Oh, Tuhan… haruskah  aku selalu terbayang wajahnya hingga saya tak tahu apa yang terjadi pada diriku ini?” Ujar Vania dalam benak.
Kutatap dalam-dalam hingga ujung pusara hingga mata ini tak menjangkau luasnya dunia. Pandangan ini hanya hingga pada hamparan sawah, bukit yang tampak gelap gulita. Semua hanya terlihat titik-titik lampu di ujung sana.
Hanya sendiri bangun di tepian tebing rumah. Terlihat lereng-lereng pegunungan yang terjal. Sekejap teringat pada suatu kejadian yang tak terlupakan, di mana kutemukan kembali sosok sahabat ketika Sekolah Menengah Pertama dulu. Sekarang bermetamorfosis sosok laki-laki sampaumur yang berwibawa, bertubuh tegap, dan gaya bicaranya sungguh tegas.
Entah mengapa terbesit dalam diri untuk mengingat masa-masa nostalgia sekolah dulu. Ketika sikapku yang angkuh, yang selalu mengejeknya di belakang kelas, menjaili ia hingga terkadang ia aib dibuatku, ketika saya meledek ia ketika ia diolok-olok sahabat laki-laki.
Semua kejadian tempo dulu seolah-olah menjadi rekaman yang didokumentasikan di dalam memori, dan sekaranglah kuputar rekaman itu. tampak terperinci kubayangkan kenangan dulu. Sekarang tak kusadari rekaman itu telah kuputar hingga membuatku tak mengerti dengan perasaanku ketika ini.
“Kusadari atau tidak, waktu telah berlalu. Melewati tahun demi tahun yang cukup panjang, tapi kenapa tiba-tiba kumengingatnya sesudah program reuni kala itu??” Kata Vania dalam kebimbangan hati yang tak tentu arah. Hatinya terus bergumam.
Lama Vania bangun memandangi lingkungan yang penuh kedamaian. Tak disadari selama itu telah dihabiskan untuk mengenang masa lalu. Masa-masa sekolah ketika ia duduk di dingklik SMP.
“Hufttt, kenapa dia, dia, dan ia yang harus hadir dalam kenangan itu? Kenapa ia lagi? Kenapa harus dia?” Hati Vania bergejolak dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Dalam rangkaian ingatanku akan wacana kisah kisah SMP, hanya ia yang selalu hadir dalam kenangan silam. Dia yaitu sosok sahabat kecilku yang hadir tatkala saya tak mempedulikannya.
Ya, tak peduli.. entah apa yang membuatku tak hirau atau tak peduli padanya. Aku memang terkesan masbodoh ketika itu. mungkin alasannya yaitu sikapnya ynag cupu, pendiam, enggan bergabung atau membaur dengan teman-teman.
Yang kulihat waktu itu ia hanya berteman dengan itu-itu saja, kadang ia juga tidak proaktif ketika proses pembelajaran di kelas atau yang membuatku kurang suka dengan ia yaitu sikapnya yang selaluy mencampuri urusanku. Selalu bertanya dilema pelajaran. Apalagi ia anak yang pendiam.
Dulu saya anak yang malas belajar. Jadi, masuk akal saja jikalau ada sahabat yang membahas pelajaran, niscaya hati ini sudah tidak nyaman bahkan saya tak segan-segan untuk tak peduli dengan mereka yang sedang membahas pelajaran..
“Kenapa perasaanku menjadi kacau ibarat ini? Kenapa sesudah kubertemu dengannya, hati ini menjadi resah. Oh Tuhan, saya tak mengerti dengan kondisi hatiku ketika ini. Ingan Vania, ingat ia hanyalah sosok semu dari masa kemudian yang hadir menghampiriku pada masa sekarang,” ujar dalam benaknya.
***
Suatu hari yang penuh makna berharga buatku sendiri. Mungkin orang lain yang ada dalam situasi menyenangkan itu, tidak mencicipi ibarat apa yang kurasakan ketika itu.
Hari raya Idul Fitri tahun kemarin yaitu salah satu kenangan yang mengesankan. Berjumpa dan berkumpul dengan saudara-saudara, bersillaturrahmi dengan tetangga dekat, tokoh masyarakat, dan program yang menggugah kisah usang sewaktu Sekolah Menengah Pertama yaitu Reuni dan Halal Bi Halal rekan-rekan alumnus SMP.
Senang bukan main, bercampur rasa aib yang selalu menggelayuti diri ini tatkala menerima permintaan Reuni alumnus SMP. Bayangan akan masa silam sekilas terlintas di benak. Rasa haru ingin cepat menghadiri program tersebut. Tak sabar hati ini ingin rasanya temu kangen dan bercengkrama dengan mereka kembali. Ingin tahu bagaimana kabar mereka sekarang? Sudah 5 tahun lamanya tak berkumpulbersama dengan mereka.
“Vania, saya kemari ingin bersillaturrahmi sekaligus memperlihatkan permintaan reuni alumnus SMP. Kamu hadir yah. Kami sangat senang jikalau kau ikut berpartisipasi untuk meriahkan program tersebut,” kata kedua temanku itu, Rifqi dan Hisyam.
“Wah, saya sangat senang kalian sanggup berkunjung ke rumah ini. Apalagi membawa gosip yang buatku senang. Insya Allah saya hadir di program tersebut. Hari apa pelaksanaannya?” Ujarku pada mereka.
“Hari Kamis depan..,” jawab mereka.
Panjang lebar saya dan mereka bercerita wacana kabar guru-guru, teman-teman, dan menceritakan pengalaman saya dan mereka sesudah lulus hingga sekarang. Masing-masing member warna dalam situasi yang hanya terjadi mungkin satu tahun sekali. Itu pun jikalau ada suatu acara, kalau tida mereka tidak akan pernah tiba kemari.
Sudah usang pembicaraan mereka. Cerita mereka berakhir pada topic lain yakni wacana seseorang yang jikalau disebut namanya, hati Vania seolah-olah entah mengapa menjadi tidak enak. Tak sanggup dijelaskan melalui kata-kata. Mendengar nama dia, buatku tak absurd lagi. Namun, saya lupa raup wajahnya, postur tubuhnya, yang saya ingat hanyalah sikapku yang tak acuh, masbodoh dan kadang mengejeknya.
“O ya Vania, kau masih ingat Fariz?” Kata Hisyam sebelum mengakhiri pembicaraan.
“Hmmm… saya kaget lho Vania ketika mendengar kabar ia dari temenku. Katanya ia sedang menempuh pendidikan kemiliteran di Jakarta,” sahut Rifqi menyambung pembicaraan Hisyam.
“Hust..yang benar kau Rifqi? Ah, kau itu kebiasaan lama. Masih sama ibarat dulu, suka ngawur sama gak pernah serius kalau bicara sesuatu. Nanti juga ujung-ujungnya bercanda. Heheheee,” ujar Vania.
“Heee kau masih ingat saja toh Vania? Rifqi kadang kala juga masih ibarat dulu. Cuma bedanya, kini ia sudah sedikit kalem,” sambung Hisyam.
“Wah, wah, kalian sanggup saja. Heee serius Vania. Kali ini saya tidak bercanda. Tanya saja sama Hisyam kalau kau tidak percaya apa yang saya katakan tadi. Dia juga dengar sendiri. Ya kan Hisyam?,” kata Rifqi untuk memastikan kebenaran apa yang ia katakan.
“Rifqi memang benar, Vania. Aku juga tadinya kaget dan terkejut, tapi rasa itu menjadi sirna ketika saya dengan Rifqi mengantar permintaan ini pada Fariz. Uihh,, subhanallah banget dengar kisah singkat perjalanan hidupnya hingga terjun ke dunia militer. Kaprikornus pangling saya berjumpa dengannya,” kata Hisyam.
“Jadi Fariz kini sudah jadi TNI? Maksud kau prajurit Tentara Nasional Indonesia kan? Sekarang ia dinas di mana?” Tanyaku dengan sedikit rasa penasaran.
“Ya benar Vania, tapi Fariz masih menempuh pendidikan dan training kemiliteran. Katanya kurang enam bulan lagi. Dia di Angkatan Darat. Kenapa hayo? Kamu iri atau terkejut hayo?? Heee,” kata Rifqi menjawab rasa penasaranku.
“Aku sebagai sahabat ikut senang sekaligus terkejut mendengar kabar senang itu. Anak ibarat ia ternyata sanggup menerangkan pada dunia bahwa ia sanggup menjadi orang sukses. Dia saja bisa, kenapa kita enggak?? Kita niscaya sanggup kalau ada niat dan perjuangan untuk maju,” ujar Vania.
“Kita oke Vania, ia yang berasal dari kawasan pinggiran saja bisa.apalagi ia tidak seberuntung kita, tapi nasibnya lebih beruntung dari kita. Heheh.. Memang kita sebagai insan dihentikan meremehkan hal kecil. Terkadang hal yang kita anggap kecil dan sepele malah menjadi besar. Kita jangan mau kalah. Makanya kita kuliah yang benar, rajin, dan tekun biar lulus sanggup jadi orang sukses. Amin,” kata Hisyam memberi semangat pada makhluk yang sedang bercengkrama di ruang tamu.
“Amin.. kau memang benar,” sahut Vania dan Rifqi.
“Hmm…tapi yang jadi penasaranku, bagaimana balasannya jikalau vania bertemu dan bertatap muka eksklusif dengan Fariz?? Ada yang lagi bingung nih rupanya. Pasti yang di depanku ini lagi menyusun seni administrasi biar gak grogi kalau ketemu dia. Hahah,” sambung Rifqi yang melirik ke arah Vania dengan kelakar yang menjadi ciri khasnya.
“Lhoh, lhoh, kok jadi saya yang kena. Ya saya tahu, dulu saya suka ngremehin dia, masbodoh sama dia, bahkan gak mau tahu wacana dia. Apalagi saya suka mengejek di belakang dia, tapi itu kan dulu, waktu usia remaja, kaya kalian gak kaya gitu. Kalau kini kan sudah sama-sama dewasa. Masa iya sih tega buat bersikap ibarat itu padanya. Dia sudah jadi prajurit, takut sendiri nanti ditembak gas air mata lagi. Hahahaa,” ujar Vania membela diri dengan nada yang sedikit kocak.
“Alah, paling juga kau bilang ibarat itu alasannya yaitu menutupi rasa aib kamu. Apalagi kesuksesan ia sudah terlihat di depan mata. Kalau sudah selesai pendidikan itu, ia sudah terperinci jadi tentara. Ya kan, jawab jujur saja? Paling-paling juga kalau ia belum ibarat ini juga kau akan bersikap ibarat dulu. Hehehe.. bukan maksud saya bagaimana,Van. Ini fakta kok. Kita udah kenal kau lama. Sejak SD hingga Sekolah Menengah Pertama bersama-sama. Cuma ruang dan waktu yang kurang berpihak pada jalinan persahabatan kita,” kata Rifqi.
“Ya..ya saya tahu. Dulu saya jahat banget sama dia. Mungkin ia tidak sadar akan sikapku. Aku juga sadar diri dulu saya benar-benar kacau sekali. Makanya kini saya berusaha buat berubah. Aku juga sedikit kasihan bahkan menyesal sudah bersikap demikian pada Fariz,” kata Vania.
“Setiap orang punya masa kemudian yang berbeda. Setiap orang mempunyai sejarah hidup masing-masing, tapi semua orang punya hak buat jadi oreng sukses. Masa laluku yaitu milikku, masa lalumu yaitu milikmu, tapi kesuksesan yaitu milik kita bersama. Benar begitu Vania?” Ujar Hisyam pada Vania dan sahabat yang duduk di sampingnya.
“Bener banget, Syam. Yang penting berguru dari apa yang sudah terjadi untuk dipetik sebagai pelajaran hidup yang berharga”, kata Rifqi.
“Ya memang benar, syam. Hmm,, yang jadi pikiran aku, apakah nanti Fariz mau memaafkan aku? Aku aib syam, saya aib qi..:, kata Vania dengan nada lirih.
“Tenang saja Vania, saya rasa Fariz itu orangnya pemaaf. Apalagi jikalau kau pinya itikad baik untuk minta maaf padanya. Pokoknya niatmu benar, Van”, sambung Hisyam untuk menenangkanku.
“Ya Vania, tenang saja! Masa seorang Vania mempunyai mental gembus. Ditekan sedikit saja sudah eksklusif cekung hahaaaa”, kelakar Rifqi yang menciptakan suasana menjadi cair.
“Hahaahayyy..”, semua tertawa
***
Pagi yang ceria, awan biru nan cerah. Tak sedikit pun kabut hitam terlihat dalam pandangan mata. Hati yang berbinar membawa langkah kaki dengan niscaya dan selalu menebar senyum pada burung yang bersiul merdu, dedaunan yang rindang, dan awan yang memperlihatkan kecerahan. Kata Andrea Hirata, “Siapa yang menebar senyum, dialah yang menuai cinta.”
Dengan kemantapan hati, kuberanikan diri untuk menghadiri program Reuni Alumnus SMP. Rasa resah tetap menempel di benak, tapi ketika kuingat perkataan Hisyam dan Rifqi, saya menjadi yakin untuk hadir di program tersebut.
Sampai di sebuah gedung pertemuan program reuni, tiba-tiba hati Vania bergejolak, seakanakan melawan dan memusnahkan percaya dirinya secara perlahan. Rasa berdegup kencang semakin menjadi.
Gugup dan canggung ketika menapaki langkah demi langkah memasuki pintu masuk. Berdebar-debar menghalangi niatku untuk masuk, tapi ketika kulihat dari sahabat-sahabat dekatku dari kejauhan, rasa bingung seketika musnah.
Langkah kaki semakin yakin, kuberjalan menghampiri mereka. Belum hingga di kerumunan mereka, Siska dan lainnya menghampiriku dengan sapaan hangat. Kami saling merangkul erat untuk melepas rindu dan menebus rasa rindu yang telah usang belum terobati dan terpendam di hati.
Ketika kumelangkah menuju tempat duduk untuk berbincang-bincang dengan kawanku yang lain tiba-tiba langkah kaki ini berhenti kaku seolah-olah memaksakanku untuk berdiam diri biar tidak legi melanjutkan langkah kaki ini. Semua itu terjadi alasannya yaitu kumelihat seseorang yang membuatku merasa bersalah dan malu.
Sejauh mata memandang, rasa takjup terhadap ciptaan sang Pencipta begitu bermakna dan berbicara raut wajahnya, postur tubuhnya, sorotan mata yang begitu tajam, idiolek atau gaya ia dalam bicara semua itu mengingatkanku untuk kembali pada masa lalu.
Dia begitu tampak berbeda. Dia bukan lagi ibarat Fariz yang dulu kukenal. Rasa tertegun mengisyaratkan hati yang tadinya beku menjadi leleh seketika tatkala kumelihatnya dari kejauhan.
“Vania…Vania..”, bunyi itu tiba-tiba mengacaukan lamunanku dan menyadarkanku kembali.
Kaget rasanya ketika kutengok dan kucari di mana datangnya sumber bunyi itu? siapa yang menyebut namaku tadi? Rasa ingin tau mulai menyerang pikiranku tak tentu arah.
Tak kusadari ternyata sosok yang memanggil namaku tadi duduk di sebelahku. Sementara saya bangun kaku di posisi semula. Mungkin alasannya yaitu grogi dan virus mati gaya buatku salah tingkah dan kaku.
“Diakah yang memanggil namaku? Lalu kenapa ia tiba-tiba berada di sampingku?” ujar Vania bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
“Hallo Vania.. kenapa bangun saja? Mari duduk!” ajak Fariz padaku.
“Apa?? Fariz bicara padaku? Dia mengajakku untuk duduk di sampingnya. Sepertinya ia tidak sedikit pun memendam kebencian padaku. Syukurlah.. mungkin perasaanku saja”, kata Vania dengan hati lega dalam batinnya.
“Vania apa kabar?”, Tanya ia mengejutkanku.
“Hmm eh..eh..oh.. duwh ma’af kok jadi salah tingkah begini hehe Alhamdulillah baik-baik saja”, ujar Vania sembari duduk dan mengatur nafas biar tidak nervous lagi.
“Syukurlah”, sahut dia
“o ya, kau sendiri bagaimana?”, katu menyambung pembicaraan
“Kabarku Alhamdulillah baik juga”
Entah mengapa semua rasa yang telah buatku tersiksa ketika mendengar namanya menjadi sirna ketika saya duduk di sampingnya. Perasaan negatif yang dulu pernah ada menjadi berubah, saya tak lagi membencinya.
Ketika sosok itu datang, tak kusadari jikalau ia menjadi ide buatku. Dia juga telah banyak memberi nasehat, membuatkan pengalaman ketika ia berada di pondok pesantren, juga membuatkan ilmu agama. Aku sadari, jikalau hidup itu penuh dengan teka-teki. Tak pernah kita tahu jikalau kita akan menjadi apa, tapi kita hanya sanggup berusha untuk menjadi yang kita harapkan.



-------
KODE IKLAN 300x 250
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
KODE IKLAN DFP 2
KODE IKLAN DFP 2